Memetik Hikmah di Balik Cerita

Lie Wei Ye meyakini orang suka mendengarkan cerita, orang senang membaca cerita, dan orang suka bercerita. Karenanya ia menggunakan cerita sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan moral, pelajaran dan juga melalui cerita tak jarang orang mengajarkan kebenaran. Tak heran setiap masyarakat memiliki kisah-kisah yang diceritakan turun-temurun, baik secara lisan maupun tertulis. Demikian pula dengan masyarakat China.

 

Terkadang kita melihat suatu kebiasaan pada warga keturunan Tionghoa di Indonesia yang ternyata berakar pada tradisi di China dan memiliki kisah menarik di balik penerapannya. Seperti pemasangan aksara Fu (Hok, hoki dalam bahasa Fujian). Kaligrafi yang memiliki arti keberuntungan itu kerap ditempelkan di pintu atau dinding rumah, apalagi di tempat usaha. Tak jarang kaligrafi itu dipasang secara terbalik, yang disebut Fu Dao.

Menurut Lie Wei Ye, pemasangan Fu Dao bisa dirunut pada zaman Dinasti Ming, ada seorang tukang kayu kenamaan yang dijuluki Tai Shan. Julukan itu berasal dari nama gunung yang terkenal dengan keindahan dan kekokohannya di Provinsi Shandong. Maksudnya rumah yang dibangun Tai Shan akan sekokoh Gunung Tai.

Suatu hari, ada seorang pedagang kaya yang berniat mengundang Tai Shan dan para muridnya membangun rumah baginya. Setelah antri lama dan bernegosiasi alot untuk mengundangnya, akhirnya Tai Shan setuju. Begitu selesai, pedagang itu terkagum-kagum menyaksikan rumahnya yang baru jadi.

Untuk menyatakan kepuasan atas rumahnya, pedagang itu mengadakan hajatan. Beberapa ekor ternak disembelih dan itu menjadi pesta terbesar yang pernah diadakan di daerah itu. Karena tahu Tai Shan dan para muridnya suka jeroan, pedagang itu menyuruh orang untuk menyimpan semua jeroan untuk dibawakan bagi Tai Shan dan muridnya. Namun Tai Shan wkatu itu salah mengerti karena saat tiba di tempat pesta mereka melihat semua tamu sudah menyantap makanan sehingga hanya sedikit tersisa dan tidak ada jeroan sama sekali.

Panas hati, diam-diam Tai Shan dan muridnya membuat beberapa asesoris rumah agar mudah rusak, bahkan merusak beberapa asesoris penting. Setelah meninggalkan rumah pedagang kaya itu, Tai Shan tidak mempedulikan bingkisan yang dibawakan sang pedagang. Ketika sudah jauh dan telah siang, mereka mendapati jeroan yang mereka inginkan semua ada dalam bingkisan itu.

Dengan rasa bersalah, Tai Shan menulis huruf Fu dan memerintahkan para muridnya untuk menempelkan huruf itu secara terbalik sambil berteriak, “Fu Dao le” (berkat sampai melimpah). Hanya dengan deikian kutuk dan kesialan yang dirancang Tai Shan bisa dipatahkan dan sebaliknya berkat akan melimpah pada pedagang itu (hal. 20-23).

Masih soal pemasangan karakter, yang sering kita jumpai juga aksara shuang xi yang berarti kebahagiaan ganda. Aksara ini kerap ditempel di rumah dan perangkat pengantin, tempat resepsi pernikahan dan ketika akan menempati rumah baru.

Lie Wei Ye menyebutkan Provinsi Henan sebagai asal tulisan kebahagiaan ganda, bermula pada zaman Dinasti Song (960-1279). Waktu itu ada pemuda Wang An Shin yang akan mengikuti ujian di Jing Cheng. Ketika melintasi rumah Ma Yuan Wai, ada kerumunan orang yang melihat tulisan di kedua sisi rumah itu. Melihat tulisan itu, Wang berseru, “tulisan itu sangat bagus, amsal yang sangat indah.”

Ma bertekad, orang yang bisa mengetahui tulisan itu maka ia akan memberikan anak perempuannya yang terkenal cantik untuk diperistri. Namun Wang telah ditunggu pamannya, maka ia meninggalkan tempat itu dan esoknya mengikuti ujian dan diperbolehkan pulang. Tiba di rumah pamannya telah menunggu utusan Ma.

Singkat cerita, Ma maupun putrinya mengagumi kepandaian Wang dan menetapkan acara pernikahan tiga hari lagi. Tepat di hari pernikahan, ada orang yang datang memberitahu Wang lulus ujian dengan hasil terbaik. Wang berdiri dan mengambil kuas untuk menuliskan shuang xi. Xi berarti bahagia dan huruf itu ditulis secara bergandengan yang berarti kebahagiaan ganda. Sejak itu di negeri China, pada setiap acara pernikahan selalu ada tulisan shuang xi (hal 32-35).

Cerita Karakter Fu yang Terbalik dan Shaung Xi itu merupakan bagian dari 101 kisah menarik di buku ini. Selain dari cerita sehari-hari, Lie Wei Ye yang kini tinggal di Guangdong, China ini juga menelusuri kisah-kisah itu dari internet, radio, televisi maupun literatur yang ia dapati di negeri China. Maklum lelaki kelahiran Surabaya ini mengenyam pendidikan di Hunan University, Changsha dan Hebei Teacher University Shi Jia Zhuang, China.

Buku ini menarik untuk menjadi dongeng pengantar tidur bagi anak-anak, namun tak kalah menarik untuk menjadi bacaan ringan bagi orang dewasa. (Mega Christina, harian Sinar Harapan)