Ketika berbicara soal pengaruh masa lalu dan pola asuh, kita sering mendengar bahwa pengalaman pribadi bisa membentuk cara seseorang membesarkan anaknya. Hal ini bukan cuma soal bagaimana kita mendidik, tetapi juga bagaimana kita mengolah pengalaman-pengalaman terdahulu agar tidak mengulangi siklus negatif. Banyak orang merasa ketakutan bahwa luka yang belum selesai bisa berdampak pada anak-anak mereka.
Contohnya, ada yang mulai menjaga hubungan dengan adik atau anak agar mereka bisa memahami perasaan negatif yang muncul, entah marah, sedih, atau rasa ingin diakui. Dalam prosesnya, seseorang belajar menjadi pendengar, mendengarkan curahan hati mereka tanpa menghakimi. Hal ini tentu tidak mudah dan membutuhkan kesabaran serta kesadaran diri.
Banyak juga yang merasa ada tekanan dari harapan orang tua, seperti keinginan menjadi TNI demi impian masa kecil yang belum terwujud. Meskipun mungkin terasa berat, beberapa orang tetap berusaha menjalani tes demi memenuhi harapan tersebut, berharap suatu hari bisa mencapai impian itu sambil tetap menjaga keseimbangan batin agar tidak memengaruhi anak-anak atau adik-adiknya.
Perlu diakui, cara mendidik anak di masa lalu dan sekarang memiliki perbedaan besar. Generasi sebelumnya cenderung keras dan disiplin, tetapi saat ini banyak yang mulai menyadari pentingnya pendekatan yang lebih lembut namun tegas. Generasi X mungkin masih memahami bahwa anak tidak harus dididik dengan kekerasan, tetapi dengan kasih sayang dan pemahaman. Sebagian dari kita merasa bersyukur atas pemahaman ini dan berharap generasi berikutnya bisa menerima pendekatan yang lebih bijaksana tanpa kehilangan nilai tegas dalam mendidik.
BACA JUGA : Belajar Ikhlas dan Memaafkan Luka: Kisah Dyta dalam Menemukan Jati Diri Lewat Tulisan
Membesarkan anak memang menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi yang tumbuh di tengah lingkungan keluarga yang keras. Namun, dari pengalaman itulah kita bisa belajar dan mulai menyesuaikan diri untuk menjadi lebih baik. Saat ini, generasi muda yang semakin peduli terhadap kesehatan mental dan pengembangan diri menjadi cerminan bahwa pengalaman tidak harus diulangi, tetapi bisa dijadikan pelajaran. Banyak yang mulai menyadari bahwa rantai siklus negatif seharusnya bisa dihentikan agar tidak diteruskan kepada anak-anak kita.
Terkadang kita merasa ada kesulitan dalam memperbaiki hubungan dan menerima masa lalu, apalagi jika pengalaman itu menyakitkan. Beberapa orang menganggap bahwa memaafkan atau melupakan adalah hal mudah, tetapi kenyataannya, setiap orang memiliki proses masing-masing dalam menyembuhkan luka batin. Ada yang memilih untuk tidak mengingatnya, namun bagi sebagian orang, luka itu bisa menjadi alasan untuk refleksi diri yang lebih dalam.
Dalam menghadapi perbedaan generasi dan gaya mendidik yang keras, penting bagi kita untuk memisahkan antara “tegas” dan “keras.” Tidak perlu marah atau kasar untuk mendisiplinkan anak, karena ketegasan bisa diterapkan tanpa kekerasan. Hal ini menjadi penting mengingat bahwa energi negatif dapat menular. Jika kita membawa beban emosional yang tidak selesai, energi tersebut bisa saja berdampak pada anak atau adik-adik kita.
Akhirnya, ketika kita berbagi cerita atau pengalaman, baik dalam buku atau diskusi, harapannya adalah agar pembaca bisa melihat keseluruhan gambaran hidup dan menemukan pelajaran dari setiap kisah. Kita berharap mereka bisa merenungkan kembali permasalahan yang mereka alami dan menemukan kekuatan untuk mulai membenahi diri.
Jadi, untuk generasi muda dan milenial, ingatlah bahwa setiap masalah bisa diurai satu per satu. Ada pelajaran yang bisa diambil dari setiap pengalaman, bahkan yang pahit sekalipun. Melalui pemahaman dan kesadaran, kita bisa menjadi versi terbaik dari diri kita dan, yang terpenting, memutus rantai negatif untuk generasi mendatang.
Salah satu pertanyaan mendasar yang bisa temukan adalah, apa saja tantangan parenting di kehidupan modern dan bagaimana refleksi diri dapat membantu orang tua menyembuhkan luka masa lalu serta membangun masa depan yang lebih baik untuk anak-anak mereka?
Jawaban sementara yang bisa kamu temukan adalah soal tantangan parenting di kehidupan modern meliputi tekanan sosial dari media, kesehatan mental yang memengaruhi hubungan orang tua-anak, perubahan dinamika keluarga, keterbatasan waktu, dan pengaruh teknologi.
Dalam menghadapi tantangan ini, orang tua dapat melakukan refleksi diri untuk coba menyadari dan menyembuhkan luka masa lalu, yang memungkinkan mereka untuk memahami pengalaman pribadi dan mengembangkan empati. Dengan cara ini, mereka dapat membangun pola asuh yang lebih positif dan menjadi teladan yang lebih baik bagi anak-anak, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan emosional.
—
Artikel di atas diambil dari podcast Behind the Book dengan narasumber penulis buku PASTIKAN IKHLASMU ITU LUAS, Retno Ladyta. Yuk, tonton dan simak lebih lengkap di video berikut ini: